Rabu, 19 Agustus 2015

KITA DAN SALAF

KITA DAN SALAF
(bila harus berbeda)

Saat mengomentari Imam Ishaq bin Rahuyah, Imam Ahmad mengatakan :

لم يعبر الجسر إلى خراسان مثل إسحاق وإن كان يخالفنا في أشياء، فإن الناس لم يزل يخالف بعضهم بعضاً

“Belum pernah ada orang yang menyeberangi jembatan menuju Khurasan semisal Ishaaq (dalam keutamaan/kemuliaannya) Meskipun ia BERSELISIH dengan kami DALAM BANYAK MASALAH... (Hal itu biasa) Karena manusia senantiasa berselisih satu dengan yang lainnya”

(Siyar A’lamin Nubalaa`:11/371)

Diantara kutipan yang mungkin sering kita baca, kita nukil dan sampaikan adalah perkataan Yunus Ash-Shadafiy terhadap asy-Syaafi'iy:

ما رأيت أعقل من الشافعي ناظرته يوماً في مسألة ثم افترقنا ولقيني فأخذ بيدي ثم قال

Aku tidak pernah melihat orang yang lebih berakal dari Asy-Syaafi'iy. Suatu hari aku mendebatnya dalam satu masaalah, lalu kami berpisah. Ketika bertemu denganku dia MENGAMBIL TANGANku dan berkata:

يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ

“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?”

(Siyar A’lamin Nubalaa`:10/16)

Itulah MEREKA (salafush shaalih)... BEDA dengan KITA (yang mengklaim pengikut salafush shalih)

Mereka berbeda dalam BANYAK MASALAH, namun mereka tetap saling mencintai satu-sama-lain.

Adapun kita... Bila berbeda dalam SATU MASALAH, maka perbedaan itu akan selalu kita ingat. Bahkan kita selamanya akan memusuhi orang yang kita anggap lawan dalam permasaalah tersebut sampai dia menyepakati kita. Bahkan mungkin dengan perbedaan itu, kita langsung menghilangkan hak-hak persaudaraan yang semestinya masih tetap terjaga. Lantas bagaimana lagi jika berbeda dalam BANYAK MASALAH? Apakan kita tidak akan mengakuinya sebagai saudara kita?

Kemana akhlak salaf yang tercermin dari sikap Ahmad terhadap Ishaq? 
Kemana perginya sikap asy-Syafi'iy terhadap Ash-Shadafiy? 
Ah.. Ternyata itu semua hanya ada pada lisan dan tulisan kita, bukan pada hati dan amal kita.

Kalaupun ada... Maka hanya akan kita terapkan pada orang-orang yang sepengajian atau semadrasah dengan kita. Adapun pada mereka yang berbeda pengajian atau madrasah dengan kita, maka tak perlu melihat banyaknya kecocokan antara dia dengan kebenaran. Tidak perlu mempedulikan dominan atau tidaknya kebenaran yang ada pada dirinya. Karena bila dia tidak sepengajian dengan 'kita', itu sudah cukup bagi 'kita' untuk memusuhinya selamanya. Dan dia tidak berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan dari kita.

Tak perlu menunggu hal ini terucap/tertulis dalam lisan-lisan/tulisan-tulisan kita (atau mungkin telah terucap/tertulis?). Karena semua tergambar dalam sikap kita.

Catatan editor:

Saat bersama Syaikh Anis, kami pernah menyinggung perselisihan yang terjadi di medan dakwah. Beliau menatap kami dengan tatapan khasnya dan berkata: "Semua ini takkan ada ujungnya. Bahkan perselisihan ini telah menyumbang saham yang besar pada keterpurukan yang di alami umat saat ini. Dahulu.. kami mendapati alim fulan menyelisihi alim fulan dalam masaalah ini dan itu, tapi penyikapan antara satu dan lainnya tak seperti yang kita lihat saat ini.

Pernah di sela-sela pembicaraan, kami mengutip ucapan Syaikh Hammad yang diriwayatkan anaknya di dalam Al-Majmu'. Perkataan itu berbunyi:

يجب أن تحترم العلماء لعلمهم حتى لو كانوا أشاعرة أو ماتردية وتخدمهم أيضا ، وبهذا تستطيع أن تصل إلى قلوبهم فيستجيبون لسلفيتك ، وبهذا الأسلوب خرجت أمم من الظلمات إلى النور .

"Wajib bagimu untuk menghormati ulama dan berkhidmat pada mereka karena keilmuannya, meskipun mereka dalah Asya'iroh atau Maturidiyah. Dengan cara inilah engkau akan dapat sampai ke hati-hati mereka sehingga menerima kesalafiyyahanmu. Dengan cara inilah umat keluar dari kegelapan menuju cahaya."

Syaikh kemudian memberi komentar:

"Ucapan ini benar pada maknanya yang proporsional, namun bayangkan bila ucapan ini keluar dari lisan seorang alim di zaman ini, tentu dunia akan ribut. Begitulah.. selamanya orang akan memusuhi apa yang tidak dia ketahui"

Sebenarnya apa yang dikatakan Syaikh Hammad Al-Anshory -rahimahullah- merupakan bentuk mudaaroh. Yaitu sifat supel, mudah bergaul dengan siapa saja tanpa harus mengorbankan prinsip dan nilai-nilai yang dianut. Bukan mudahanah, supel namun sering tanazul atau mengalah dari prinsip serta nilai-nilai yang dianutnya. Keduanya adalah hal berbeda.

Semoga Allah membimbing langkah kita.
_________________
Jakarta 3 Dzulqa'dah 1436 H
Abu Zuhry El-Gharantaly
Editor: ACT El-Gharantaly