Selasa, 03 Agustus 2021

MULIANYA TAWADHU'

💦💦💦💦💦💦💦💦
🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱
*MULIANYA TAWADHU'*
🖊️ Al Faqir Rahmat Pujiyanto 📚

Tawadhu' bukan berarti mengalah
Tawadhu' bukan berarti merendahkan diri sendiri
Tawadhu' bukan berarti harus membuang pendapatnya
 _Akan tetapi tawadhu adalah sifat merasa orang lain lebih baik dari dirinya yang ditunjukkan dengan sikap prilaku tidak menampakkan kelebihannya secara sombong._ 

Seorang yang tawadhu' tidak serta merta memaksa orang lain harus ikut dengan pendapatnya sebelum diteliti pendapatnya lebih mencocoki kebenaran ataukah tidak. 
Bila dilihat pendapat orang lain lebih mendekati kebenaran dari pendapatnya maka tanpa rasa malu dia meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat orang lain tersebut. Dan bila diketahui pendapatnya lebih benar, maka diapun juga tidak merasa bangga diri dan tidak merasa lebih baik ataupun merendahkan orang lain.
Seorang yang tawadhu' pula selalu mendahulukan asas mashlahat umum dari pada mashlahat pribadi. _Egoisme suatu sifat yang tidak akan bisa bersatu dengan ketawadhu'an._ 

Cukuplah apa yang di khabarkan utusan Alloh sebagai cambuk untuk kita mempunyai sifat tawadhu'.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. *Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588).* 

Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga bersabda,
 *“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’.* Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).

Semua manusia ada kekurangannya, masing - masing saling mengoreksi kekurangannya dan berusaha memperbaiki diri untuk bisa lebih baik lagi. 
Sifat egois terkadang atau bahkan sering muncul pada diri seorang dan itu sudah hal yang wajar. Hanya saja jiwa muslim dituntut untuk bisa menempatkan diri dalam egoisnya. Jangan sampai egoisnya membawa kepada kehancuran dirinya atau orang lain. 

Disana ada perkara yang diharuskan untuk berlaku egois dan justru tidak boleh ada perasaan orang lain lebih baik dari dirinya. 

1. _Seorang muslim dalam memegangi agamanya._ 
Setiap muslim harus yakin bahwa islam agama yang benar dan lainnya salah. Dan berusaha untuk mengajak orang lain untuk bisa mengikuti islam serta tidak segan untuk menolak semua ajakan diluar islam.

Karena Alloh sendiri yang telah memberitahu akan hal itu. Seperti dalam firmanNya surat Ali imron 85
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."

2. _Seorang suami dalam mendidik keluarganya untuk taat pada Alloh._ 
Menjadi tanggung jawab suami ( kepala rumah tangga ) untuk menyelamatkan anggota keluarganya dari adzab Alloh. 

Hal ini sesuai firmanNya surat At tahrim 6
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

 _Maka sudah seharusnya suami tegas dan memerintahkan semua anggota keluarga untuk bersamanya dalam ketaatan kepada Alloh dan rosulNya dan mencegah semua sikap yang keluar dari koridor syariah dalam lingkup rumah tangganya. Maka bagi istri wajib patuh dan taat pada suaminya serta anak - anaknya wajib mengikuti arahan dari bapak / ayahnya._ 

Adapun untuk urusan dunia, maka ditimbang mashlahat atau mafsadahnya. Bila suatu pendapat lebih besar mashlahatnya secara umum maka bagi yang lain, hendaknya mengikuti walaupun dia menganggap pendapat itu tidak cocok buat dirinya. Ya. Kadang butuh latihan untuk mengendalikan gerakan jiwa agar bisa memahami bahwa kepentingan umum lebih didahulukan. 

Yang jadi pertanyaan, kenapa pendapat yang jelas lebih baik dan besar manfaatnya justru ditolak?

Setidaknya ada 2 sebab :
a. _Yang berpendapat lebih muda._ 
Lebih muda disini baik dari sisi usia, pengalaman ataupun dalam hal ekonomi ( miskin ). Betapa sering dijumpai pendapat kaum lemah lebih mudah ditolak bila dibandingkan dengan pendapat orang kaya. Dan juga betapa sering dijumpai usulan anggota baru serta merta ditolak bahkan tidak dianggap karena dirasa belum tahu atau belum pengalaman dilingkungan barunya dibanding dengan anggota lama. Atau sederet kejadian lainnya.

b. _Adanya sifat hasad_ 
Alangkah seringnya ditolaknya suatu pendapat hanya karena ada kekawatiran bahwa pendapat tersebut bisa menggangu privasinya ataupun kedudukannya di suatu instansi. Dan juga adanya kekawatiran orang yang berpendapat tersebut bisa merebut posisinya dikarenakan telah dipercaya oleh pimpinan. 

Kedua sebab di atas tidaklah muncul kecuali dari orang yang hatinya berpenyakit. Maka melatih jiwa untuk berakhlaq mulia suatu tugas utama seorang muslim untuk bisa mencapai syurga Alloh. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201.)

Sabda beliau yang lain 
“Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (HR. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhiib no. 2643.)

Demikian sedikit penjelasan seputar tawadhu' semoga bermanfaat dan bisa menjadi bahan instrospeksi agar kita bisa menjadi hamba Alloh yang berakhlaq mulia. amin
BAROKALLOHU FIKUM