Rabu, 20 Juli 2016

DA'I DAN POPULARITAS

�� DA'I DAN POPULARITAS

Tujuan utama seorang muslim dalam beramal adalah untuk mencari keridhaan Allah, bukan untuk menggapai popularitas dan ketenaran.

Allah ta'ala berfirman,

"تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ".

Artinya: "Negeri akhirat itu kami adakan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri serta tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa". QS. Al-Qashash: 83.[1]

Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda,

"إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ".
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, kaya hati[2] dan yang tidak mencari ketenaran[3]".[4]

Ayyûb as-Sikhtiyâni (w. 131 H) menjelaskan, "Seorang hamba yang mencintai ketenaran, tidak dianggap jujur (kepada Allah) sedikitpun".[5]

Imam Syafi'i (w. 204 H) berkata, "Aku senantiasa berangan-angan agar para manusia mempelajari ilmu yang kumiliki ini, namun mereka tidak menisbatkan satu huruf pun dari ilmu tersebut kepadaku!".[6]

Namun, seandainya seseorang telah berusaha selalu ikhlas dalam berdakwah, dan dia tidak bertujuan untuk mengejar popularitas, tapi barangkali karena keilmuannya yang mumpuni, atau kepiawaiannya dalam berorasi; lantas dia menjadi tenar, apakah dalam kondisi seperti ini dia tetap tercela?

Jawabannya: tidak! Karena bukan dia sendiri yang mencari ketenaran tersebut, namun popularitas itu datang dengan sendirinya tanpa ada keinginan dari dia.[7]

Ibnu Qudâmah (w. 620 H) menjelaskan, "Karakter yang tercela adalah: mengejar popularitas. Adapun jika popularitas tersebut ada lantaran karunia dari Allah, tanpa dikejar seorang hamba, maka hal itu tidak tercela. Hanya saja hal tersebut bisa membuat hamba yang lemah imannya terfitnah".[8]

Oleh karena itu, kita dapatkan para nabi, para sahabat nabi shallallahu'alaihiwasallam, para ulama besar, ketenaran mereka merambah seluruh penjuru bumi. Tapi, apakah hal itu dikarenakan mereka adalah tipe manusia yang gemar berburu popularitas, meskipun dengan cara mengorbankan idealisme? Atau hal itu karunia dari Allah, lantaran mereka senantiasa taat kepada-Nya? Tentu saja yang kedua!

Dan Allah memiliki hikmah ilahiyah di balik pengaruniaan ketenaran kepada mereka. Di antaranya: dengan popularitas yang dimiliki para orang salih di atas, banyak manusia yang akan meneladani mereka dalam ketaatan kepada Allah, sehingga tersebarlah keimanan di muka bumi. Lain halnya jika yang tenar hanya orang-orang yang fasik atau tokoh-tokoh ahlul bid'ah; akibatnya mereka akan dijadikan idola yang dipuja-puja dan ditiru seluruh gerak-geriknya, sebagaimana yang terjadi di akhir zaman ini. Hanya kepada Allah sajalah kita mengadu…

Para ulama membawakan suatu perumpamaan, "Orang-orang yang lemah keimanannya namun tenar, ibarat seseorang yang tidak mahir berenang sedang dalam keadaan tenggelam dan di sekelilingnya banyak orang-orang yang sedang tenggelam juga. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya posisi dia tidak diketahui oleh mereka; karena jika mereka berpegangan dengan tubuhnya, dia tidak akan kuat menahan beban, lalu binasa bersama mereka.

Namun orang yang bertubuh kuat dan pintar berenang, sebaiknya orang-orang yang tenggelam di sekelilingnya mengetahui posisinya. Supaya mereka bisa berpegangan dengan tubuhnya, lalu ia menyelamatkan mereka dan mendapatkan pahala dari Allah".[9]

Andaikan kita termasuk golongan yang kuat keimanannya, kemudian dikaruniai Allah ketenaran, maka seyogyanya kita tetap waspada akan tipu daya setan dan senantiasa menganggap bahwa karunia tersebut adalah ujian dari Allah.

Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) berkata, "Aku telah diuji oleh Allah dengan ketenaran!".[10]

Ya, para ulama rabbaniyyin menganggap popularitas sebagai ujian berat! Tidak seperti sebagian kita!

Pada suatu hari, tatkala sedang berada di dalam mobilnya, Syaikh al-Albani dilihat oleh seseorang. Segera orang tadi dengan penuh semangat mendatangi syaikh dan berkata, "Engkaukah Syaikh al-Albani?!". Tatkala ditanya seperti itu, syaikh menangis. Ketika ditanya mengapa menangis, beliau menjawab, "Seharusnya seorang hamba senantiasa bermujahadah, dan tidak terperdaya dengan ketenaran dirinya!".[11]

Andaikan kita di posisi beliau, bagaimanakah kira-kira reaksi kita?

�� Jangan tinggalkan dakwah karena khawatir popularitas!

Sebagaimana kita tidak boleh meninggalkan jalan dakwah karena takut riya', kita juga tidak boleh meninggalkannya karena khawatir terhadap popularitas. Yang benar: kita tetap berdakwah dan bermujahadah untuk memperbaiki niat, serta waspada dari tipu daya setan.

Ibn al-Mubârak (w. 181 H) bercerita, bahwa suatu hari Sufyân ats-Tsauri (w. 161 H) berkirim surat padanya, yang berisikan, "Sebarkanlah ilmu dan waspadalah dari popularitas!".[12]

�� Obat riya' dan cinta popularitas[13]

Salah satu faktor terbesar dari sekian banyak faktor yang membantu seseorang untuk mengusir virus riya' dan cinta popularitas dari hati adalah: memohon pertolongan kepada Allah sang penguasa segala sesuatu dalam hal ini, dengan penuh kesungguhan.

Dikisahkan bahwa seorang ulama salaf bertanya kepada muridnya, "Apa yang akan engkau lakukan jika setan datang menggodamu untuk berbuat maksiat?". "Aku akan berusaha keras melawannya", jawab si murid. "Jika dia datang lagi?". "Aku akan kembali melawannya!". "Jika ia datang lagi?". "Aku akan terus melawannya!". Maka sang guru berkomentar, "Jika demikan, perjalananmu akan amat panjang. Andaikan engkau melewati suatu tempat, tiba-tiba ada seekor anjing yang menggonggong dan menghalangi jalanmu, apa yang akan kau kerjakan?". "Aku akan mengusir anjing tersebut dan berusaha keras menghalaunya!", jawab si murid. Lantas sang guru berkata, "Jika demikan usahamu akan berat. Mengapa engkau tidak memanggil si empu anjing tadi dan minta tolong padanya? Niscaya energi yang engkau keluarkan tidak terlalu banyak".[14]

Ya Allah, karuniakanlah keikhlasan pada setiap perkataan dan perbuatan kami…

-------------------------------

[1]  Sebagian ahli tafsir berdalilkan dengan ayat di atas untuk menunjukkan tercelanya mencari popularitas. Lihat: Al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur'ân al-Majîd, karya Ibnu 'Ujaibah (IV/456), cetakan yang ada dalam al-Maktabah asy-Syamilah.
[2]  Lihat: Syarh Shahih Muslim, karya an-Nawawi (XVIII/301), terbitan Beirut: Dar al-Ma'rifah, cet VI, th 1420/1999.
[3]  Lihat: Siyar A'lâm an-Nubalâ' (I/119 -footnote).
[4] HR. Muslim (XVIII/300-301 no. 7358).
[5]  Musnad Ibn al-Ja'd (I/577 no. 1287), terbitan Kuwait: Maktabah al-Falah, cet I, th 1405/1985.
[6]  Al-Majmû', karya an-Nawawi (I/30), terbitan Jedah: Maktabah al-Irsyad, tc, tt.
[7] Baca: Ar-Riyâ' Dzammuhu wa Atsaruhu as-Sayyi' fî al-Ummah karya Syaikh Salim al-Hilaly (hal. 67).
[8]  Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn, karya Imam Ibn Qudamah (hal. 270), terbitan 'Ammân: Dar 'Ammar, cet II, 1415/1994. Lihat pula: Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn, karya Abu Hamid al-Ghazali (III/238), terbitan Beirut: Dar al-Fikr, tc, 1423/2003
[9] Lihat: Ibid.
[10] Manâqib al-Imam Ahmad, karya Ibn al-Jauzi (hal. 252), terbitan Mesir: Maktabah al-Khanji, cet I, 1399/1979.
[11] Al-Imâm al-Albâni, Durûs, Mawâqif wa 'Ibar, karya Syaikh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhân (hal. 126), terbitan Riyadh: Dar at-Tauhid, cet I, 1429/2008.
[12] Hilyah al-Auliyâ' karya Abu Nu'aim al-Ashbahani (VII/70), terbitan Mesir: Maktabah as-Sa'adah, cet I, th 1351.
[13] Semoga Allah memudahkan kami menyelesaikan penulisan makalah berjudul "Menggapai Beningnya Hati" dan menjadikannya bermanfaat bagi penulis serta para pembacanya, amien.
[14]  Lihat: Talbîs Iblîs, karya Ibn al-Jauzi (I/280) , terbitan Riyadh: Dar al-Wathan, cet I, 1423/2002.

SELEPAS RAMADHAN

�� *SELEPAS RAMADHAN?* ��

Ramadhan telah berakhir, apa yang harus kita lakukan setelah ramadhan? Istiqomah dalam beramal atau bermaksiat lagi. Menjadi hamba Allah yang beribadah kepada Allah setiap saat atau menjadi hamba ramadhan yang hanya mengenal Allah dibulan ramadhan.
Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

_“Dan sembahlah Rabb-mu hingga datang kematian menjemputmu.” (QS. Al-Hijr: 99)._

Tugas kita selepas ramadhan belum berakhir kita tetap diwajibkan untuk senantiasa beribadah kepada Allah sampai kematian menjemput. Hendaknya setelah ramadhan kita berdo'a agar amalan dibulan Ramadhan diterima.

Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

_*"Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 232).*_

Itulah salaf, ketika ramadhan berakhir selama 6 bulan berdo'a agar ibadah dibulan ramadhan diterima.

Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,

كُوْنُوْا لِقَبُوْلِ اْلعَمَلِ أَشَدَّ اهْتِمَامًا مِنْكُمْ بِاْلعَمَلِ أَلَمْ تَسْمَعُوْا اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ : ]إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ[

_”Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah ’azza wa jalla, [إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ]“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maaidah: 27).” (Lathaaiful Ma’arif: 232)._

�� *APA YANG KITA LAKUKAN?*
1. Walaupun ramadhan telah pergi hendaknya kita tetap menjadi hamba Allah yang senantiasa beribadah kepada Allah.
2. Istiqomah dalam beramal
3. Berdo'a agar amalan kita dibulan ramadhan diterima Allah.
_”Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan amalan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 244)._

_______________________
Artikel: FSI Tunas Ilmu

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan

�� *Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Syawal ?* ��

☘ Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhal (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri.

☘ Begitu pula Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga mengeaskan bahwa yang paling utama adalah berpuasa pada enam hari awal bulan syawal sesudah hari Idul Fithri secara langsung, berturut-turut sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama, karena cara itu lebih maksimal dalam mewujudkan pengikutan seperti yang dituturkan dalam hadits, “kemudian mengikutinya”, dan karena cara itu termasuk bersegera menuju kebajikan yang diperintahkan oleh dalil-dalil yang menganjurkannya dan memuji orang yang mengerjakannya, juga hal itu termasuk keteguhan hati yang merupakan bagian dari kesempurnaan seorang hamba Allah, sebab kesempatan tidak selayaknya dibiarkan lewat percuma; karena seseorang tidak tahu apa yang dihadapkan kepadanya di kesempatan yang kedua atau akhir perkara.

�� Namun, jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa Syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa Syawal.

‼ Catatan : Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qadha’ (mengganti) puasa Syawal tersebut di bulan Dzulqa’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)
Wallahu a’lam.

Bolehkah melaksanakan puasa Syawal pada hari Jum’at?

Bolehkah melaksanakan puasa Syawal pada hari Jum’at? Ataukah ada larangan melaksanakan puasa saat itu karena ada hadits yang melarangnya?
Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)
Larangan Puasa pada Hari Jum’at

Dalam hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pula pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. Bukhari no. 1849 dan Muslim no. 1929).
Juga terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah khususkan malam Jum’at dengan shalat malam tertentu yang tidak dilakukan pada malam-malam lainnya. Janganlah pula khususkan hari Jum’at dengan puasa tertentu yang tidak dilakukan pada hari-hari lainnya kecuali jika ada puasa yang dilakukan karena sebab ketika itu.” (HR. Muslim no. 1144).
Dari Juwairiyah binti Al Harits radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ فَقَالَ أَصُمْتِ أَمْسِ قَالَتْ لا قَالَ تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا قَالَتْ لا قَالَ فَأَفْطِرِي
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya pada hari Jum’at dan ia dalam keadaan berpuasa, lalu beliau bersabda, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawabnya. “Apakah engkau ingin berpuasa besok?”, tanya beliau lagi. “Tidak”, jawabnya lagi. “Batalkanlah puasamu”, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1986).
Maksud Larangan Puasa pada Hari Jum’at

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimah

Larangan Puasa pada Hari Jum’at

Maksud Larangan Puasa pada Hari Jum’at

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seseorang berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian bukan maksud untuk pengkhususan karena hari tersebut adalah hari Jum’at namun karena itu adalah waktu longgarnya saat itu, maka pendapat yang tepat, itu masih dibolehkan.” (Syarhul Mumthi’, 6: 477).
Puasa Syawal pada Hari Jum’at

Kalau kita perhatikan dari penjelasan Imam Nawawi berarti masih dibolehkan melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan puasa. Begitu pula dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin juga menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at. Alasannya, karena puasa yang dilakukan saat itu bukan karena hari tersebut adalah hari Jum’at lantas ia berpuasa. Namun yang dimaksudkan adalah karena bulan tersebut adalah bulan Syawal sehingga dilakukanlah puasa Syawal kala itu. Ditambah lagi puasa Syawal pada hari Jum’at masih dihukumi boleh jika diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.
Semoga semakin tercerahkan dengan penjelasan Rumaysho.Com yang singkat ini. Moga Allah memberi kita kemudahan untuk melakukan puasa Syawal ini.

MANA CALONNYA?

MANA CALONNYA?
@salimafillah

Bukan. Ini juga bukan tentang pertanyaan yang sering mencekat tenggorokan melebihi nastar kadaluwarsa. Bagi sebagian kita, mendapat soalan ini bagai rundungan awan kelabu yang menodai pelangi ceria hari raya.

Kepada para bujang; jodoh sudah tertulis di Lauhil Mahfuzh. Hanya cara kita mengambil menentukan bagaimana Allah memberikannya. Yang dijemput dalam ridhaNya, betapa lembut uluranNya. Yang menyahut pasangan dengan murkaNya, ah tentu akan berbeda rasanya.

Di anggitan ini, saya hendak mengingatkan para Wali anak gadis; ayah, kakek, paman, kakak, adik lelaki dan seterusnya, bahwa tugas mereka soal calon suami para akhawat itu bukan hanya untuk menjadi juri, melainkan panitia seutuhnya.

Inilah 'Umar ibn Al Khaththab yang menantunya, Khunais ibn Hudzafah As Sahmi gugur di Perang Badr. Maka Hafshah pun menjadi janda. Ketika wanita mulia yang baru berusia 18 tahun itu habis masa 'iddahnya, sang ayah bergegas mencarikan suami shalih baginya.

Pertama, 'Umar menjumpai lelaki terbaik ummat, Abu Bakr. Tapi Ash Shiddiq hanya diam dan terus diam dengan segala tawaran 'Umar untuk menikahi Hafshah. Bingung menyikapinya, 'Umar beralih pada sang muhajir ganda, 'Utsman ibn 'Affan.

"Ya 'Utsman", ujarnya, "Masa 'iddah Hafshah setelah gugurnya Khunais telah usai dan dia putriku yang amat kusayangi. Adapun istrimu Ruqayyah binti Rasulillah juga baru saja meninggal. Bagaimanakah pendapatmu jika seorang duda yang baik menikahi seorang janda yang baik?"

'Utsman tampak terkejut dan malu dengan tawaran terus-terang itu. Segera setelah menguasai diri, dia berkata, "Berikanlah aku waktu untuk memikirkannya."

Waktu tiga haripun diberikan, tapi ketika jawaban dihulurkan, 'Umar kembali menangguk kecewa. "Dalam waktu dekat ini, kurasa aku belum bisa memikirkan pernikahan lagi."

"Tak mengapa", sahut 'Umar dengan hambar.

"Ya Rasulallah", adu 'Umar di kesempatan berjumpa, "Telah kutawarkan Hafshah kepada 'Utsman, tapi 'Utsman menolaknya."

"Semoga Allah karuniakan kepada Hafshah", sahut Sang Nabi sambil tersenyum,  "Lelaki yang lebih baik daripada 'Utsman. Dan semoga Allah karuniakan kepada 'Utsman, wanita yang lebih baik daripada Hafshah."

Dan berlakulah takdir Allah. 'Utsman dinikahkan oleh Sang Nabi dengan Ummu Kultsum, adik Ruqayyah. Adapun suatu hari, Rasulullah menggandeng tangan 'Umar dan berkata, "Bagaimana jika aku yang menikahi Hafshah?"

Itu salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup 'Umar ibn Al Khaththab, sang ayah yang tahu hakikat menjadi Wali.

Saat walimah pernikahan Hafshah dan Rasulullah digelar, Abu Bakr mendekati 'Umar. "Apakah kau masih kesal dengan sikapku kemarin?"

"Tentu saja", sahut 'Umar. Sikap lelaki yang tidak jelas itu menjengkelkan.

"Sebenarnya aku sangat berminat pada tawaranmu."

"Kenapa tidak kau katakan?"

"Karena aku mendengar bahwa Rasulullah juga bertanya tentang Hafshah."

"Itu juga kenapa tidak kau katakan?"

"Karena aku takkan pernah membuka rahasia Rasulullah pada siapapun."

Persahabatan mereka sangat dahsyat bukan?

Nah, kepada para akhawat; sampaikan kisah ini kepada kakak lelaki. Lalu katakan misalnya, "Bang, tukeran teman yuk!"

"Maksudnya?"

"Teman Abang yang shalih buatku. Temanku yang shalihah buat Abang. Skenarionya kita atur nanti ya."

Atau sampaikan kisah ini pada Ayahanda, lalu katakan pada beliau di pagi Jumat, "Nanti kalau shalat Jumat, perhatikan shaff depan ya Bah. Kalau ada yang shalih, ganteng, duduknya khusyu', nyimak khuthbahnya nggak ngantuk ajak lah ke rumah untuk makan siang ya."

Atau sampaikan juga pesan itu pada Kakek kita. Tapi untuk kakek tambahkan pesan tentang umur. Karena kakek bisa salah faham dan yang diajak pulang seusia beliau semua. Jalau diprotes ngelesnya, "Ya kalau shaff pertama isinya sebeginian semua, Cuk.."

Saya tuliskan ini, karena sering beberapa rekan akhawat bertanya bagaimanakah ikhtiyar menjemput jodoh bagi pihak yang biasanya pasif ini dari sisi Allah. Di tengah antara ekstrem hanya menanti dalam doa dan ekstrem lain yang berani menawarkan diri pada lelaki shalih yang diyakini, semoga jalan tengah ini salah satu solusi.

Sampaikan pada para Wali.

semangat menimba ilmu dengan teknologi.

Syeikh Sholih al-Masy’ari hafizhahullah pernah ditanya tentang cara semangat menimba ilmu dengan teknologi...gadget,radio,tv dst

✏Beliau hafizhahullah menjawab:
��Yang didapat dengan cepat itu akan pudar dengan cepat pula

��Ilmu itu adalah layaknya rezki harus dicari dan didatangi sumbernya dengan sabar dan tekun.

��Tidak ada ulama yang mutqin ilmunya karena sebab teknologi. ...bahkan ada dari mereka berjalan berbulan bulan untuk mendapatkan ilmu.

��Sekiranya ada kajian rutin yang sarat dengan faidah ilmu maka janganlah ditinggalkan karena ada event "kajian umum"

��Betapa banyak orang hanya copy paste dalam gadget nya dan tidak pernah dihafalkan dan  dicatat ulang.

Hal ini karena berpindah pindah tanpa fokus dalam menuntut ilmu syar'i itu seperti makan "sandwich" kenyang nya cepat dan laparnya pun cepat.

��Sebagaimana orang yang rajin nonton kajian ilmu ...giliran diajak mendatangi majelis ilmu yang sarat dengan faidah ilmiyah...ia jawab, "Aku nonton aja disini...sama kok hasilnya"

Saudaraku yang semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan kepadamu. ...
��Mari kita berusaha memaksimalkan usaha untuk mendatangi majelis ilmu dan seluruh tekno gadget itu kita gunakan untuk menshare faidah dari apa yang telah kita pelajari dan bukan SARANA UTAMA dalam menimba ilmu syar'i.

��Besarnya pahala mendatangi majelis ilmu tergantung besarnya jerih payah dan pengorbanannya

❓Soal:
Besarnya pahala tergantung besar nya perjuangan untuk mencapainya ya? Ada haditsnya?

✅JAWAB :
Barakallahu fiikum
Ada hadits nya sebagai berikut:

إن لك من الأجر على قدر نصبك و نفقتك

رواه الحاكم و صححه الألباني في صحيح الترغيب والترهيب 1116

Sesungguhnya bagimu ada pahala sesuai dengan jerih payah dan pengorbananmu

��HR. Al Hakim no. 1733 dari Aisyah radhiallahu’anha .
Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 1116.

Jadi bedakan saja antara orang yang mencukupkan menuntut ilmu dengan melihat TV dibandingkan dengan orang yang susah payah "tertatih" berat mendatangi majelis ilmu...

AYO SEMANGAT ....
saudaraku...Mari kita datangi majelis ilmu.
Semoga bermanfaat

مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً

“Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.”

Dasar kaedah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ

“Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaedah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320).

Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur,

العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ

“Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.”

Ingatlah semakin sulit dan berat dalam mempelajari agama, semakin besar pahala. Maka bersabarlah dalam belajar.
Sumber telegram fawaid muwatho.