Sabar Menunggu Keputusan Pemerintah Dalam Berpuasa Dan Berhari Raya Serta Jika Persaksian Hilal Ditolak Dalam Sidang Itsbat
Perhatikan Sunnah Rasul.
Seorang muslim tentu saja harus patuh pada dalil. Ketika disampaikan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, ia harus bersikap tunduk dan manut pada dalil. Bukan egonya yang dikedepankan, bukan hawa nafsunya, bukan kepentingan ormas atau partainya.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 18).
Kita sepakati bersama bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebaik-baik perkataan.
Sunnah Rasul : Pemerintah yang Berhak Putuskan 1 Ramadhan dan 1 Syawal.
Inilah ajaran Rasul yang benar.
hadits berikut ini.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” [HR. Abu Daud no. 2342. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim]
hadits di atas menunjukkan bahwa keputusan berpuasa dan berhari raya menjadi wewenang pemerintah, bukan ormas, individu atau partai.
Maslahat Jika Kaum Muslimin Bersatu
Seandainya kaum muslimin mau bersatu daripada mementingkan ego dan golongan masing-masing, tentu maslahat begitu besar.
Lihat atsar salaf berikut yang menunjukkan bagaimana mereka lebih mementingkan persatuan daripada berpecah belah.
عبد الله بن عمر – رضي الله عنهما- يصلي خلف الحجاج بن يوسف الثقفي، المعروف بظلمه، وتعسفه، وغلظته، وعبد الله بن عمر رضي الله عنه، يعتبر من أشد الصحابة تمسكاً بسنة النبي صلى الله عليه وسلم، والاقتداء به، وعندما عوتب في ذلك قال: أمرنا أن نصلي خلف كل بر وفاجر، وأن نقاتل مع كل بر وفاجر
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat di belakang Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqofi yang terkenal bengis dan kejam. Kita pun tahu bagaimana ‘Abdullah bin ‘Umar dikenal sebagai sahabat yang paling berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Kami diperintahkan shalat di belakang imam yang baik dan yang fasik (gemar maksiat). Begitu pula kami diperintahkan untuk berjihad bersama mereka, terserah mereka pemimpin yang baik atau pemimpin yang fasik.”
Maksud kalimat tersebut adalah selama kaum muslimin bersatu di bawah pemimpin yang sah walau fasik atau fajir, maka tetap ditaati. Selama pemimpin tidak memerintahkan pada maksiat, maka wajib ditaati.
Sebagian orang sering mencela pemimpin mereka bahkan di depan umum. Lihat saja sikap para ulama. Mereka sangat ingin pemimpin mereka baik. Perhatikan perkataan Imam Ahmad berikut ini,
قال أحمد بن حنبل رحمه الله تعالى: لو أعلم أن لي دعوة مستجابة، لجعلتها لولي الأمر، لأن صلاح ولي الأمر صلاح للأمة جميعاً
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Seandainya aku mengetahui ada satu doaku yang mustajab. Maka aku akan menujukkannya kepada waliyyul amri (penguasa). Karena baiknya pemimpin akan baik pula umatnya.”
Pemerintah Kita Menjalankan Sunnah Rasul.
Ada yang berujar, pemerintah kita tidak menjalankan sunnah Rasul. Apa benar? Wong, mereka saja menggunakan metode ru’yatul hilal sebagaimana yang Rasul ajarkan. Itu yang jadi rujukan mereka tahun demi tahun sebagaimana sidang itsbat yang diadakan setiap tahunnya dan bisa disaksikan oleh kaum muslimin di layar televisi atau pun radio. Kenapa sebagian muslim masih tidak percaya pada pemerintahnya sendiri?
Metode ru’yatul hilal itulah yang diajarkan oleh Rasul, bukan dengan metode hisab. Perhatikan hadits Ibnu ‘Umar berikut :
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” [Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080]
Puasa dan Hari Raya dengan Pemerintah.
Ada perintah dari Rasul untuk berpuasa dan berhari raya dengan pemerintah.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” [HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani]
Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata :
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan tertentu.
Disebutkan dalam Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibnu Majah :
أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة
“Hadits ini bermakna bahwa perkara penetapan puasa (atau hari raya) bukan urusan individu atau perorangan namun urusan penguasa dan al jama’ah (pemerintah). Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah mereka. Oleh karenanya jika ada yang melihat hilal lantas pemerintah menolak persaksiannya, maka tidak bisa pendapatnya dipakai dan wajib baginya mengikuti pemerintah kaum muslimin.”
Kalau ada yang mengatakan, bagaimana jika pemerintah itu salah?
Cukup dijawab dengan hadits Abu Hurairah berikut, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يُصَلُّونَ لَكُمْ ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Jika shalat para imam itu benar, maka pahalanya bagi mereka dan untuk kalian. Jika shalat mereka salah, kalian dapat pahala dan mereka dapat dosa.” [HR. Bukhari no. 694]
Taat pada pemerintah kita kata Nabi adalah jalan menuju surga.
dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan :
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
“Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” [HR. Tirmidzi no. 616 dan Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini]
Jika Persaksian Hilal Ditolak Dalam Sidang Itsbat
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pertama : Orang yang melihat hilal boleh berpuasa atau berhari raya namun secara sembunyi-sembunyi (tidak terang-terangan) agar tidak menyelisihi jama’ah kaum muslimin. Demikian pendapat Imam Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan menjadi pendapat Ibnu Hazm. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka berpuasalah” (QS. Al Baqarah: 185).
Kedua : Berpuasa dengan hasil ru’yahnya, namun berhari raya dengan mayoritas manusia. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan yang masyhur dari Imam Ahmad.
Ketiga : Tidak mengamalkan hasil pengamatan ru’yah. Maka ia berpuasa dan berhari raya bersama mayoritas manusia. Demikian pendapat Imam Ahmad dan menjadi pilihan Syaikhul Islam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berpuasa. Idul Fithri kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berhari raya Idul Fithri. Idul Adha kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berhari raya Idul Adha.” [HR. Tirmidzi no. 697, shahih menurut Syaikh Al Albani☆. Maknanya adalah puasa dan hari raya bersama al jama’ah (pemerintah).
Yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat terakhir. Karena inilah yang lebih menjaga persatuan kaum muslimin ditambah lagi masalah puasa dan berhari raya adalah permasalahan jama’i (orang banyak) sehingga kembalikanlah pada keputusan penguasa.
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata : “Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan : “Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”. [Majmu’ Al Fatawa, 25: 117]
Namun jika orang yang melihat hilal tetap ingin berpuasa karena hasil penglihatannya, maka tetaplah sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan. Tujuannya adalah demi menjaga persatuan kaum muslimin.
Jika setiap orang dan ormas lebih memilih persatuan daripada kepentingan kelompok, tentu perpecahan dalam penentuan puasa dan hari raya tidak akan terjadi.
Bersabarlah menanti keputusan pemerintah kita. Wallahu waliyyut taufiq.
[Diringkas dan disalin dari tulisan Ustadz Abduh Muhammad Tuasikal.]